"Kamu tahu siapa Andari, Da?"
begitu sambutan mama ketika nada baru melangkahkan kakinya ke dalam rumahnya. Nada yang masih merasa kelelahan setelah berjuang di dalam kereta ekonomi yang mengantarkannya kembali ke rumah dari kampusnya di kawasan Depok.
"Kenapa sih, Ma. Aku baru juga sampai.,"
Nada meninggalkan mama di ruang tamu dan beranjak ke dapur mengambil gelas dan mengisinya hingga penuh
"Kamu deket sama dia?,"
Nada menggeleng sembari meneguk air di dalam gelasnya. Mama terlihat sangat
penasaran dan terus mendesak Nada.
"Mama tahu darimana sih tante Andari?,"
"Kamu jawab dulu pertenyaan mama. Kamu tahu siapa dia?"
"Temennya ayah.,"
jawab Nada yang sepertinya tidak memuaskan mama
"Temen doank?,"
"Pacar deh , kalo bukan temen. Kenapa sih, Ma? Kok mama bisa tahu dia?,"
"Kamu deket memang sama dia?,"
cecar mama lagi tanpa mau berhenti.
"Ma, aku baru kenal juga pas weekend di rumah ayah. ya kenalnya juga gitu-gitu aja.,"
Kali ini mama diam, tapi seperti ada kecemasan di wajahnya.
"Emang kenapa, Ma?,"
Mama menggeleng lalu setengah berbisik dia berkata
"Nggak kok. Cuma dia cantik, baik dan sukses ya?,"
"Apa? Kenapa sih, Ma?"
tanya Nada lagi kebingungan. Tapi mama malah meninggalkan Nada tanpa sedikitpun jawaban. Lalu seperti orang bingung kembali ke dapur dan menyerahkan sebuah kotak berpita cantik.
"Ini dari tante Andari-andari itu.,"
"Hah? Dia ke sini? Ngapain?"
Mama menghilang lagi
"Ma"
Paksa Nada lagi tapi kali ini mama benar-benar masuk kamar dan menguncinya. Tanda mama tidak mau diganggu sama sekali.
Nada pasrah walau merasa sangat penasaran.
Sabtu, 04 Oktober 2008
Senin, 29 September 2008
Chapter 9
"Gemana Da, liburannya?,"
tanya Lisa teman baiknya
"Menghasilkan uang untuk gua hidup bertahun-tahun..,"
Jawab Nada tak acuh.
"Dasar lho, anak matre. Ngejenguk bapak sendiri kok malah ngarepin duit.,"
balas Lisa gemas.
"Masih ganteng nggak bokap lo? Masih jomblo gak"
Nada menggeleng sambil tersenyum geli. sejak 2 tahun lalu ketika masuk kuliah. Nada dan lisa sudah berteman akrab, dan Lisa lah yang pertama kali dia perlihatkan foto ayahnya dan sejuta kenagan di baliknya.
"Geli lo. emang lo mau ama bapak-bapak?"
"Tapi kan bokap lo ganteng.,"
ucap Lisa lagi dengan gaya genitnya
"Apa sih? Bokap gua udah punya pacar tahu. Cantik dan baik, mungkin bisa membaca bokap gua ke jalan yang benar.,"
jawab Nada sambil mnegunyah mie jawanya yang super pedas.
"Eh..lo tahu nggak. Lo punya saingan berat buat magang di Magenta dan Suradi Law Firm?,"
mendengar kata saingan Nada lagsung menjatuhkan sendoknya yang sudah hampir masuk ke mulutnya
"Siapa?,"
tanyanya penasaran
"Karen. Lo nggak bisa santai lagi buat wawancara minggu depan. Banyak yang ngejagoin dia lo."
"Ah biar gua nggak dijagoin, gua yakin bisa menang.,"
uangkap Nada sombong seperti biasanya.
"Di atas langit ada langit ,Da. sorry to say ya, dia lebih menarik dalam pembawaan dan public speaking."
"So? Yang pentingkan otaknya. Public speaking bsia dilatih lah. Lagian IP gua lebih tinggi dan gua yakin gua jaaauuuh lebih pintar. Gua bisa tetap santai"
ungkap Nada penuh percaya diri
"Oke kalo lo pikir kayak gitu. So perfect deh Karen itu."tambah Lisa dengan wajah iri memandang Karen yang duduk di sebrannya
"Ah nobody perfect. Banyak juga yang nggak suka sama dia.,"
"Iri apa nggak suka. Kalo gua sih jujur aja, gua iri.," balas Lisa lagi telak
"Apa sih?"
jawab Nada sinis
"Lw tahu nggak? Dia abis nolak cowok?,"
"Sapa? Gua nggak peduli juga. paling juga cowok-cowok bego yang cuman liat tampang ama style aja.,"
Lisa tak langsung menjawab, dia tersenyum penuh arti.
"Sapa sih? Gitam? Fero?"
Lisa menggeleng dengan senyum yang sama.
"Tuh orangnya dateng.,"
Nada menoleh dengan penu penasaran. Dan begitu matanya sampai pada tujuan, dada nya seakan mau meledak.
"Dama yang ngejar-ngejar Karen. Cowok yang lw suka selama bertahun-tahun. Masih menganggap dia bodoh?"
Nada hanya bisa menatap mie jawannya yang tinggal setengah. Hatinya miris ketika harus memaksa dirinya untuk mengakui betapa dia iri dan menginginkan kehidupan seorang Karen.
"Iri?,"
Nada menggeleng.
"Hati gua tuh penuh ketenangan. Gua nggak kenal sama kata-kata iri.,"
Lisa tertawa.
"Oke, sampai titik mana lw akan tahan dan teriak betapa lw kesel liat tangan Dama neglingker di leher Karena kaya gitu.,"
Lisa berkata sambil menunjuk ke arah Karen berada. Nada tak mau menoleh, dia pandangi muka Lisa dengan kesal dan marah.
"Ini yang gua bilang di atas langit masih ada langit. Nggak semua hal bisa lo dapetin. Makanya hati-hati. Gua kelas dulu ya. Dah,"
Lisa beranjak. Nada diam tapi di dalam jiwanya ada amarah yang tak lagi terbendung.
tanya Lisa teman baiknya
"Menghasilkan uang untuk gua hidup bertahun-tahun..,"
Jawab Nada tak acuh.
"Dasar lho, anak matre. Ngejenguk bapak sendiri kok malah ngarepin duit.,"
balas Lisa gemas.
"Masih ganteng nggak bokap lo? Masih jomblo gak"
Nada menggeleng sambil tersenyum geli. sejak 2 tahun lalu ketika masuk kuliah. Nada dan lisa sudah berteman akrab, dan Lisa lah yang pertama kali dia perlihatkan foto ayahnya dan sejuta kenagan di baliknya.
"Geli lo. emang lo mau ama bapak-bapak?"
"Tapi kan bokap lo ganteng.,"
ucap Lisa lagi dengan gaya genitnya
"Apa sih? Bokap gua udah punya pacar tahu. Cantik dan baik, mungkin bisa membaca bokap gua ke jalan yang benar.,"
jawab Nada sambil mnegunyah mie jawanya yang super pedas.
"Eh..lo tahu nggak. Lo punya saingan berat buat magang di Magenta dan Suradi Law Firm?,"
mendengar kata saingan Nada lagsung menjatuhkan sendoknya yang sudah hampir masuk ke mulutnya
"Siapa?,"
tanyanya penasaran
"Karen. Lo nggak bisa santai lagi buat wawancara minggu depan. Banyak yang ngejagoin dia lo."
"Ah biar gua nggak dijagoin, gua yakin bisa menang.,"
uangkap Nada sombong seperti biasanya.
"Di atas langit ada langit ,Da. sorry to say ya, dia lebih menarik dalam pembawaan dan public speaking."
"So? Yang pentingkan otaknya. Public speaking bsia dilatih lah. Lagian IP gua lebih tinggi dan gua yakin gua jaaauuuh lebih pintar. Gua bisa tetap santai"
ungkap Nada penuh percaya diri
"Oke kalo lo pikir kayak gitu. So perfect deh Karen itu."tambah Lisa dengan wajah iri memandang Karen yang duduk di sebrannya
"Ah nobody perfect. Banyak juga yang nggak suka sama dia.,"
"Iri apa nggak suka. Kalo gua sih jujur aja, gua iri.," balas Lisa lagi telak
"Apa sih?"
jawab Nada sinis
"Lw tahu nggak? Dia abis nolak cowok?,"
"Sapa? Gua nggak peduli juga. paling juga cowok-cowok bego yang cuman liat tampang ama style aja.,"
Lisa tak langsung menjawab, dia tersenyum penuh arti.
"Sapa sih? Gitam? Fero?"
Lisa menggeleng dengan senyum yang sama.
"Tuh orangnya dateng.,"
Nada menoleh dengan penu penasaran. Dan begitu matanya sampai pada tujuan, dada nya seakan mau meledak.
"Dama yang ngejar-ngejar Karen. Cowok yang lw suka selama bertahun-tahun. Masih menganggap dia bodoh?"
Nada hanya bisa menatap mie jawannya yang tinggal setengah. Hatinya miris ketika harus memaksa dirinya untuk mengakui betapa dia iri dan menginginkan kehidupan seorang Karen.
"Iri?,"
Nada menggeleng.
"Hati gua tuh penuh ketenangan. Gua nggak kenal sama kata-kata iri.,"
Lisa tertawa.
"Oke, sampai titik mana lw akan tahan dan teriak betapa lw kesel liat tangan Dama neglingker di leher Karena kaya gitu.,"
Lisa berkata sambil menunjuk ke arah Karen berada. Nada tak mau menoleh, dia pandangi muka Lisa dengan kesal dan marah.
"Ini yang gua bilang di atas langit masih ada langit. Nggak semua hal bisa lo dapetin. Makanya hati-hati. Gua kelas dulu ya. Dah,"
Lisa beranjak. Nada diam tapi di dalam jiwanya ada amarah yang tak lagi terbendung.
Minggu, 21 September 2008
Chapter 8
Nada mengepak pakaiannya dan bersiap pulang kembali. Weekend nerakanya sudah dia selesaikan. Untuk terakhir kalinya dia pandangi kamar besar yang sudah dua hari dia tempati. Dan semoga benar-benar untuk terakhir kalinya, karena 5 tahun yang lalu ketika dia berpisah dan berharap tidak datang kembali ke kamar ini doanya, tidak terkabul
“Nada.,”
Sapa seseorang dari luar kamarnya.
“Masuk, tante.,”
Tante Andari masuk dan duduk di pinggir tempat duduk di sebelah Nada lalu memberikan sebuah buku tabungan.
“Terima Kasih tante.,”tante Andari menangguk.
“Kamu yakin, nggak mau lebih lama? Kita bisa jalan-jalan kemana pun kamu mau?,”
Nada tersenyum sambil menggeleng
“Wow sepertinya ayah agak menyebalakan ya buat kamu? Mau cerita, siapa tahu tante bisa bersiap-siap,”
Nada tertawa sambil menggeleng. Tante Andari adalah wanita 30an yang cerdas dan mapan tapi punys sisi polos yang unik. Memang wanita yang pantas untuk dikejar
“Nggak tante, aku nggak ada cerita. Aku nggak sedalam itu tahu tentang ayah. Maaf mengecewakan.,”
Jawab Nada sambil tersenyum, lalu memeluk tante Andari
“Makasih ya tante. Jaga ayah.,”
Tante Andari tersenyum lalu meninggalkan Nada sendiri di kamarnya. Setengah jam lagi dia kembali. Harusnya dia senang tapi ternyata dia harus tetap menahan air mata yang entah mengapa ingin turun menyusuri lekukan wajahnya.
Nada membuka buku tabungannya dan menemukan angka menakjubkan di sana. Sejumlah angka yang bisa langsung menyelesaikan urusannya. TApi sejumlah angka itu tak disangkal juga mengiris hatinya. Angka menakjubkan itu seperti cara papa berkata padanya “Jangan kembali paling tidak untuk lima tahu lagi”
Nada tidak berharap tinggal disini. Tidak berharap lebih dari yang terjadi weekend ini, tapi sekarang dia mulai menangis. Mungkin dia hanya ingin kehadirannya sedikit diharapkan oleh ayahnya.
“Nada.,”
Sapa seseorang dari luar kamarnya.
“Masuk, tante.,”
Tante Andari masuk dan duduk di pinggir tempat duduk di sebelah Nada lalu memberikan sebuah buku tabungan.
“Terima Kasih tante.,”tante Andari menangguk.
“Kamu yakin, nggak mau lebih lama? Kita bisa jalan-jalan kemana pun kamu mau?,”
Nada tersenyum sambil menggeleng
“Wow sepertinya ayah agak menyebalakan ya buat kamu? Mau cerita, siapa tahu tante bisa bersiap-siap,”
Nada tertawa sambil menggeleng. Tante Andari adalah wanita 30an yang cerdas dan mapan tapi punys sisi polos yang unik. Memang wanita yang pantas untuk dikejar
“Nggak tante, aku nggak ada cerita. Aku nggak sedalam itu tahu tentang ayah. Maaf mengecewakan.,”
Jawab Nada sambil tersenyum, lalu memeluk tante Andari
“Makasih ya tante. Jaga ayah.,”
Tante Andari tersenyum lalu meninggalkan Nada sendiri di kamarnya. Setengah jam lagi dia kembali. Harusnya dia senang tapi ternyata dia harus tetap menahan air mata yang entah mengapa ingin turun menyusuri lekukan wajahnya.
Nada membuka buku tabungannya dan menemukan angka menakjubkan di sana. Sejumlah angka yang bisa langsung menyelesaikan urusannya. TApi sejumlah angka itu tak disangkal juga mengiris hatinya. Angka menakjubkan itu seperti cara papa berkata padanya “Jangan kembali paling tidak untuk lima tahu lagi”
Nada tidak berharap tinggal disini. Tidak berharap lebih dari yang terjadi weekend ini, tapi sekarang dia mulai menangis. Mungkin dia hanya ingin kehadirannya sedikit diharapkan oleh ayahnya.
BAB II
********************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************
Kamis, 18 September 2008
Chapter 7
Nada duduk di restoran mewah yang sudah disiapkan papa. Tempatnya lumayan enak, sama seperti restoran-restoran kesukaan papa. Menunya pasti mahal! Suasananya tenang, semua yang datang terlihat sibuk dengan aksesorinya yang banyak dan mengkilat itu dan bagi Nada yang paling menyeblakan adalah muka sombong yang melekat di wajah rang-orang itu.
Nada melihat kembali jam di tangannya, ini sudah lebih dari 15 menit dari jam yang sudah dijanjikan papa. Nada menggosok tangannya yang basah ke gaun pendek sederhan tapi manis yang dia kenakan. Ternyata walaupun hatinya penuh emosi, ketegangan itu tetap ada. Ini pertemuan pertama setelah bertahun-tahun yang lalu.
Nada menatap penuh harap ke pintu masuk dan satu menit kemudian jantungnya terasa berhenti ketika dilihata ayah masuk dengan senyum yang mengembang. Ayah tetap sama, tinggi, tegap dan selalu bisa menarik perhatian orang-orang. Apalagi di usia 40 an, seorang duda kaya yang tampan itu pastilah idaman banyak wanita.
“Nada.,”
Sapa ayah begitu sampai di mejanya. TIdak ada pelukan, ciuman atau sentuhan hangat seorang ayah kepada anaknya. Hanya ada senyuman lembut. Walau tidak pernah mengharapkan apapun lagi dari ayah, rasanya sedikit kekecewaan sempat terbit di hatinya
“Maaf ya ayah terlambat. O iya kenalin dulu ini, tante Andari.”
Ternyata ayah tidak sendiri, saking terpana Nada melihat ayahnya setelah bertahun-tahun dia tak menyedari kehadiran satu lagi wanita di sana. Wanita metropolitan muda usia sekitar 30an. Tanpa harus bertanya dia tahu sebagai apa kehadiran wanita itu di samping ayah. Bertambah lagi kekecewaan Nada.
“Maaf ya Nada, ayah kamu nih emang lelet, padahal udah tante buru-buru. MArahain aja ya?,”
Ledek tante Andari sambil melirik manja ka ayah. Adegan yang hampir membuat Nada mau muntah. Wajah Nada tidak berubah, tetap dingin seperti tadi awal dia melihat ayah datang. Sektika semuanya hening, terlihat Nada membuat keadaan sangat canggung. TIdak ada umpan balik yang lebih dari 5 kata dari setiap obrolan riang yang diucpakan tante Andari atau ayah. Nada hanya berbicara agak panjag saat memesan makanan, karena begitu banyak pertanyaan yang diungkapkannya sampai si pelayan kesal sendiri.
“Nada? Kamu marah sama ayah gara-gara nunggu lama?,”
Nada mengeleng lalu memainkan pisau dan garpu yang ada di meja. Terlihat sangat tidak sopan dan berisik sekali.
“Nada jangan dimain-mainin alat makannya, nanti kotor.,”
Tegur ayah lagi. Lalu karena tidak ada yang bisa digerakkan lagi, Nada hanya berpaku tangan lalu menatap kosong ke kejauhan.
“Nada. tante sama ayah minta maaf karena bikin pertemuan pertama ini jadi menyebalkan. Mustinya kami minta saran ke tempat yang kamu suka. KAmu mau pindah tempat?,”
Tante Andari berbicara sambil memegang lembut tangan Nada. Dia tahu bahwa wanita itu adalah bakal calon ibu tirinya, tapi tante Andari sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kelicikan ibu tiri di wajahnya seperti yang selalu terlihat di sinetron-sinetron. Memang Nada membenci pertemuan ini tapi sikap manis wanita di depannya itu cukup meluluhkan hati.
Nada menegakkan kembali tubuhnya, mencoba bersikap lebih baik. Dia putar otaknya mencari tempat yang ingin dia kunjungi, tapi begitu terpikir dan baru mau terucap, ayah sudah mendahului.
“Kenapa harus pindah? Tempatnya enak kok. Kita makan di sini aja, nanti kapan-kapan Nada yang pilih tempatnya.,”
Ucap ayah ringan.
“Oh ya. Nada ini restoran favorite ayah, kamu jangan bikin malu ya, nanti ayah malu kalo dateng ke sini lagi.,”
Sekejap Nada tak bisa berkata-kata, dia pandangi wajah ayahnya dengan kesal.
“Baik Tuan Boss!”
Balasnya ketus. Lalu kembali bertopang dagu dan menghayal jauuuh,jauuuh sekali sampai ke rumahnya dan mama. Semoga waktu bisa dipercepat, semua ini bisa berakhir dan dia bisa menjalani kehidupan normalnya dengan mama
Nada melihat kembali jam di tangannya, ini sudah lebih dari 15 menit dari jam yang sudah dijanjikan papa. Nada menggosok tangannya yang basah ke gaun pendek sederhan tapi manis yang dia kenakan. Ternyata walaupun hatinya penuh emosi, ketegangan itu tetap ada. Ini pertemuan pertama setelah bertahun-tahun yang lalu.
Nada menatap penuh harap ke pintu masuk dan satu menit kemudian jantungnya terasa berhenti ketika dilihata ayah masuk dengan senyum yang mengembang. Ayah tetap sama, tinggi, tegap dan selalu bisa menarik perhatian orang-orang. Apalagi di usia 40 an, seorang duda kaya yang tampan itu pastilah idaman banyak wanita.
“Nada.,”
Sapa ayah begitu sampai di mejanya. TIdak ada pelukan, ciuman atau sentuhan hangat seorang ayah kepada anaknya. Hanya ada senyuman lembut. Walau tidak pernah mengharapkan apapun lagi dari ayah, rasanya sedikit kekecewaan sempat terbit di hatinya
“Maaf ya ayah terlambat. O iya kenalin dulu ini, tante Andari.”
Ternyata ayah tidak sendiri, saking terpana Nada melihat ayahnya setelah bertahun-tahun dia tak menyedari kehadiran satu lagi wanita di sana. Wanita metropolitan muda usia sekitar 30an. Tanpa harus bertanya dia tahu sebagai apa kehadiran wanita itu di samping ayah. Bertambah lagi kekecewaan Nada.
“Maaf ya Nada, ayah kamu nih emang lelet, padahal udah tante buru-buru. MArahain aja ya?,”
Ledek tante Andari sambil melirik manja ka ayah. Adegan yang hampir membuat Nada mau muntah. Wajah Nada tidak berubah, tetap dingin seperti tadi awal dia melihat ayah datang. Sektika semuanya hening, terlihat Nada membuat keadaan sangat canggung. TIdak ada umpan balik yang lebih dari 5 kata dari setiap obrolan riang yang diucpakan tante Andari atau ayah. Nada hanya berbicara agak panjag saat memesan makanan, karena begitu banyak pertanyaan yang diungkapkannya sampai si pelayan kesal sendiri.
“Nada? Kamu marah sama ayah gara-gara nunggu lama?,”
Nada mengeleng lalu memainkan pisau dan garpu yang ada di meja. Terlihat sangat tidak sopan dan berisik sekali.
“Nada jangan dimain-mainin alat makannya, nanti kotor.,”
Tegur ayah lagi. Lalu karena tidak ada yang bisa digerakkan lagi, Nada hanya berpaku tangan lalu menatap kosong ke kejauhan.
“Nada. tante sama ayah minta maaf karena bikin pertemuan pertama ini jadi menyebalkan. Mustinya kami minta saran ke tempat yang kamu suka. KAmu mau pindah tempat?,”
Tante Andari berbicara sambil memegang lembut tangan Nada. Dia tahu bahwa wanita itu adalah bakal calon ibu tirinya, tapi tante Andari sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kelicikan ibu tiri di wajahnya seperti yang selalu terlihat di sinetron-sinetron. Memang Nada membenci pertemuan ini tapi sikap manis wanita di depannya itu cukup meluluhkan hati.
Nada menegakkan kembali tubuhnya, mencoba bersikap lebih baik. Dia putar otaknya mencari tempat yang ingin dia kunjungi, tapi begitu terpikir dan baru mau terucap, ayah sudah mendahului.
“Kenapa harus pindah? Tempatnya enak kok. Kita makan di sini aja, nanti kapan-kapan Nada yang pilih tempatnya.,”
Ucap ayah ringan.
“Oh ya. Nada ini restoran favorite ayah, kamu jangan bikin malu ya, nanti ayah malu kalo dateng ke sini lagi.,”
Sekejap Nada tak bisa berkata-kata, dia pandangi wajah ayahnya dengan kesal.
“Baik Tuan Boss!”
Balasnya ketus. Lalu kembali bertopang dagu dan menghayal jauuuh,jauuuh sekali sampai ke rumahnya dan mama. Semoga waktu bisa dipercepat, semua ini bisa berakhir dan dia bisa menjalani kehidupan normalnya dengan mama
Minggu, 14 September 2008
Chapter 6
Nada melangkah turun dari mobil yang satu jam tadi telah mengantarkannya dari kota kecil Bogor ke kota Metropoliatan Jakarta. Rumah papa masih sama, besar dan indah. Sangat jauh dari rumahnya bersama mama.
Begitu melangkah masuk 2 orang wanita setengah baya dengan sigap menghapiriya, Satu langsung membawakn barang-barangnya, yang satu lagi membimbingnya masuk ke kamar yang sudah disediakan.
“Mbak Nada mau sesuatu?”
Nada menggeleng.
“Ini dari Ayah Mbak. Saya keluar dulu, kalo ada apa-apa panggil bibi ya.,’
Nada mengangguk, sambil mengambil secarik kertas yang terlipat yang disodorkan kepadanya. Begitu dua orang wanita itu keluar, Nada duduk di pinggiran tempat tidurnya. Rasanya selalu kosong dan sepi kalau ada di rumah ini, terlalau luas ruangan tapi terlalu sedikit yang mengisinya.
Pelan dia berjalan ke pinggir kamar dan melihat ke luar jendela. Sepertinya usaha papa sukses luar biasa, sudah ada kolam renang besar dan gamenatap gazebo. Dulu di sana hanya ada kebun luas berisi rumpur dan beberapa pohon. Tapi sebagus apapun rumah ini tidak pernah membuatnya ingin menghabiskan waktu lebih lama.
“Mbak Nada?,”
Tak lama kamarnya diketuk lagi, kemudian seseorang masuk begitu dipersilahkan
“Mbak. Pak Tarjo, supir bapak nanya, mbak mau berangkat sekarang atau mau istirahat dulu?”
Kening Nada berkerut mendengar pertanyaan itu. Pergi?
“Saya nggak mau kemana-mana kok.,”
“Tapi kata Pak Tarjo, bapak yang nyuruh jemput ke rumah. Mungkin ada di kertas yang tadi saya kasih ke mbak?,”
“Oh iya. Saya lupa.,”
Nada langsung mengambil kertas tadi dan membacanya
Sayang, selamat datang ya,,
Kamu pasti lapar, papa udah pesen restoran seafood yang enak
Seafood kan kesukaan kamu?
Cepet siap-siap, papa tunggu di sana..
Love
Ayah
Yah..oke surat pendek yang sangat bagus, yang menyiratkan seakan-akan akan ada makan malam luara biasa dengan papa tercinta. Love papa? Ah,,apa maunya kali ini?
Wajah Nada terlihat malas. Tapi kerja sosila mencari uang ini lebih baik kalau diselesaikan secepatnya dan di hari senin nanti rekeningnya sudah penuh untuk hidup satu semester.
"BI, bilang Pak Tarjo saya siap sebentar lagi.,'
Begitu melangkah masuk 2 orang wanita setengah baya dengan sigap menghapiriya, Satu langsung membawakn barang-barangnya, yang satu lagi membimbingnya masuk ke kamar yang sudah disediakan.
“Mbak Nada mau sesuatu?”
Nada menggeleng.
“Ini dari Ayah Mbak. Saya keluar dulu, kalo ada apa-apa panggil bibi ya.,’
Nada mengangguk, sambil mengambil secarik kertas yang terlipat yang disodorkan kepadanya. Begitu dua orang wanita itu keluar, Nada duduk di pinggiran tempat tidurnya. Rasanya selalu kosong dan sepi kalau ada di rumah ini, terlalau luas ruangan tapi terlalu sedikit yang mengisinya.
Pelan dia berjalan ke pinggir kamar dan melihat ke luar jendela. Sepertinya usaha papa sukses luar biasa, sudah ada kolam renang besar dan gamenatap gazebo. Dulu di sana hanya ada kebun luas berisi rumpur dan beberapa pohon. Tapi sebagus apapun rumah ini tidak pernah membuatnya ingin menghabiskan waktu lebih lama.
“Mbak Nada?,”
Tak lama kamarnya diketuk lagi, kemudian seseorang masuk begitu dipersilahkan
“Mbak. Pak Tarjo, supir bapak nanya, mbak mau berangkat sekarang atau mau istirahat dulu?”
Kening Nada berkerut mendengar pertanyaan itu. Pergi?
“Saya nggak mau kemana-mana kok.,”
“Tapi kata Pak Tarjo, bapak yang nyuruh jemput ke rumah. Mungkin ada di kertas yang tadi saya kasih ke mbak?,”
“Oh iya. Saya lupa.,”
Nada langsung mengambil kertas tadi dan membacanya
Sayang, selamat datang ya,,
Kamu pasti lapar, papa udah pesen restoran seafood yang enak
Seafood kan kesukaan kamu?
Cepet siap-siap, papa tunggu di sana..
Love
Ayah
Yah..oke surat pendek yang sangat bagus, yang menyiratkan seakan-akan akan ada makan malam luara biasa dengan papa tercinta. Love papa? Ah,,apa maunya kali ini?
Wajah Nada terlihat malas. Tapi kerja sosila mencari uang ini lebih baik kalau diselesaikan secepatnya dan di hari senin nanti rekeningnya sudah penuh untuk hidup satu semester.
"BI, bilang Pak Tarjo saya siap sebentar lagi.,'
Jumat, 12 September 2008
Chapter 5
“Nada, alat mandi dan baju sudah kan?,”
Tanya mama sambil membantu putrinya menyiapkan keperluan untuk berlibur. Nada mengangguk pelan tanpa ekespresi.
“Nada, kamu marah?,”
Nada masih terus sibuk memasukkan segala peralatannya.
“Nada?,”
Panggil mama lagi dengan lebih lembut. Nada berhenti bergerak, lalu menatap mama.
“Ma, Nada nggak mau pergi. Mama tahu kan Nada benci sama ayah. Bahkan bertahun-tahun nggak ketemupun dia nggak ada niat untuk tahu kabar Nada. Ayah undah ngebuang Nada dari hidupnya, terus kenapa Nada harus datang lagi. Nada punya harga diri Ma?,”
Tangan lembut Nada mengelap air matanya yang mulai berjatuhan
“Mama udah telepon ayah kemaren. Dia senang kok kamu datang, buktinya dia mau nyiapin supir dan mobil untuk jemput kamu.,”
“Ma? Apa mama yakin dengan ucapan mama sendiri?,”
Nada langsung menatap mata mama, mencari kejujuran di sana. Mama tak langsung menjawab, beliau sibuk memasukkan barang-barang terakhir yang belum dimasukkan ke dalam tas.
“Nada. Mama yakin ini yang terbaik untuk kamu. Ayo berangkat, supir ayah udah nunggu tuh ,”
Nada menyeret kakinya ke arah mobil mewah ayahnya. Di pintu mama mencium lembut pipi halus putrinya.
“Dia ayah kamu. Di dasar hatinya dia pasti saying sekali sama kamu.,”
“Yeah, aku yakin.,”
Jawab Nada sinis dan tak acuh, kemudian dia masuk mobil dan membanting pintu dengan kasar.
Mama memandang mobil hitam itu menjauh dengan hati tak karuan. Khawatir,pedih tapi di atas semuanya, hatinya penuh dengan harapan. Bukan hanya tentang uang tapi juga tentang harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Tapi Nada adalah putri yang pandai dan keras hati, dan semakin dewasa keras hatinya semakin menjadi, dan sulit untuk memaksa gadis itu melakukan apa yang tidak ingin dia lakukan.
Tanya mama sambil membantu putrinya menyiapkan keperluan untuk berlibur. Nada mengangguk pelan tanpa ekespresi.
“Nada, kamu marah?,”
Nada masih terus sibuk memasukkan segala peralatannya.
“Nada?,”
Panggil mama lagi dengan lebih lembut. Nada berhenti bergerak, lalu menatap mama.
“Ma, Nada nggak mau pergi. Mama tahu kan Nada benci sama ayah. Bahkan bertahun-tahun nggak ketemupun dia nggak ada niat untuk tahu kabar Nada. Ayah undah ngebuang Nada dari hidupnya, terus kenapa Nada harus datang lagi. Nada punya harga diri Ma?,”
Tangan lembut Nada mengelap air matanya yang mulai berjatuhan
“Mama udah telepon ayah kemaren. Dia senang kok kamu datang, buktinya dia mau nyiapin supir dan mobil untuk jemput kamu.,”
“Ma? Apa mama yakin dengan ucapan mama sendiri?,”
Nada langsung menatap mata mama, mencari kejujuran di sana. Mama tak langsung menjawab, beliau sibuk memasukkan barang-barang terakhir yang belum dimasukkan ke dalam tas.
“Nada. Mama yakin ini yang terbaik untuk kamu. Ayo berangkat, supir ayah udah nunggu tuh ,”
Nada menyeret kakinya ke arah mobil mewah ayahnya. Di pintu mama mencium lembut pipi halus putrinya.
“Dia ayah kamu. Di dasar hatinya dia pasti saying sekali sama kamu.,”
“Yeah, aku yakin.,”
Jawab Nada sinis dan tak acuh, kemudian dia masuk mobil dan membanting pintu dengan kasar.
Mama memandang mobil hitam itu menjauh dengan hati tak karuan. Khawatir,pedih tapi di atas semuanya, hatinya penuh dengan harapan. Bukan hanya tentang uang tapi juga tentang harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Tapi Nada adalah putri yang pandai dan keras hati, dan semakin dewasa keras hatinya semakin menjadi, dan sulit untuk memaksa gadis itu melakukan apa yang tidak ingin dia lakukan.
Langganan:
Komentar (Atom)
